Oleh : Siti Masrufah
Di tengah indahnya kebersamaan yang dipenuhi tawa dan hangatnya pelukan keluarga, hadir sebuah era baru era digitalisasi. Era di mana jarak tak lagi menjadi batas, dan koneksi terasa begitu dekat meski raga berjauhan. Teknologi berkembang pesat, membuka berbagai kemudahan untuk tetap terhubung satu sama lain.
Namun, di balik semua manfaatnya, digitalisasi juga membawa tantangan baru. Kini, bukan hal asing melihat seorang anak kecil menangis lalu ditenangkan dengan perangkat digital di tangannya. Layar menjadi pengganti pelukan, suara musik menggantikan dongeng ibu, dan video hiburan menyaingi sapaan hangat sang ayah. Perlahan, kebersamaan yang dulu terbangun dari interaksi langsung mulai bergeser hingga sampai ketitik kesunyian dan kehampaan.
Ironisnya, tak jarang kini kita melihat seorang ibu atau ayah menegur, memarahi bahkan memukul anaknya hanya karena anaknya merusak sebuah ponsel. Tapi mengapa? Kenapa harus anaknya yang disalahkan? Bukankah benda elektronik itu yang perlahan merusak dunianya? Bukan salah anak ketika ia kecanduan pada sesuatu yang justru diperkenalkan oleh orang tuanya sendiri.
Bukan berarti kita harus menolak kehadiran teknologi. Justru, kita perlu lebih bijak dalam menggunakannya. Keluarga tetap menjadi fondasi utama dalam pertumbuhan dan perkembangan anak, karena itu adalah tempat pertama mereka belajar tentang kasih sayang, empati, dan kebahagiaan sejati. Perangkat digital hanya bisa menjadi pelengkap, bukan pengganti.
Mari menjaga kehangatan keluarga di tengah arus digital ini. Gunakan teknologi untuk mendekatkan, bukan menjauhkan. Hadir secara nyata lebih berharga dari pada sekadar hadir dalam gambar.
"Digitalisasi memudahkan, tapi jangan biarkan ia menggantikan obrolan nyata di meja makan."
_Penulis_