Di era masa kini ketika kecanggihan teknologi bisa membuat siapa pun tampil seperti pakar dalam hal apapun, situasi tragis bisa saja muncul ke permukaan: semakin banyak informasi, tapi semakin sulit menemukan kebenaran. Internet memberi kita akses ke perpustakaan terbesar dalam sejarah umat manusia, tetapi juga ke ruang gema (echo chamber) yang hanya memantulkan suara-suara yang ingin kamu dengar. Maka wajar jika hari ini banyak debat tidak lagi menjadi jalan menuju pemahaman, tetapi hanya sebagai arena gladiator ego yang haus akan validasi.
Semua Orang Bisa Pintar, Tapi Tidak Semua Ingin Tahu
Di masa lalu, ilmu pengetahuan dan informasi sangat terbatas pada mereka yang memiliki akses. Kini, dengan satu sentuhan jari, siapa pun bisa mempelajari segala ilmu apapun. Ironisnya, kemampuan untuk mengetahui segalanya justru menciptakan sebuah ilusi, bahwa kita sudah tahu segalanya.
Karena itu, debat tidak lagi dipandang sebagai dialog pencarian kebenaran. Ia bisa berubah menjadi kompetisi siapa yang punya argumen paling tajam, siapa yang bisa menjatuhkan lawan dengan kutipan paling viral, bukan siapa yang lebih bersedia berubah pandangan setelah mendengar sesuatu yang lebih masuk akal.
Kecanggihan Teknologi, Kehausan Akan Validasi
Sosial media adalah medan tempur fakta ataupun opini yang memanjakan ego. Di sana, "like", "share", dan "retweet" menjadi medali kemenangan yang lebih bernilai daripada pemahaman yang utuh. Banyak yang lebih suka menjadi "benar di mata follower" dari pada benar di hadapan realitas.
Kita hidup di zaman ketika mengalah bukan lagi tanda kebijaksanaan, tapi dianggap sebagai bentuk dari kekalahan. Padahal dalam sejarahnya, para filsuf, ilmuwan, dan tokoh besar justru tumbuh karena kerendahan hati untuk salah, untuk berubah, dan untuk terus belajar, bukan hanya mementingkan dirinya yang paling benar dimata para penggemar.
Lalu Apa yang Salah?
Bukan pada kemajuan zaman. Bukan pula pada kecanggihan teknologi. Yang bermasalah adalah cara kita menyikapi keduanya.
Pengetahuan seharusnya membuat kita rendah hati, bukan tinggi hati. Kecerdasan seharusnya mengajarkan kita untuk mendengarkan, bukan hanya berbicara. Tapi ketika debat hanya soal menang, bukan mencari kebenaran kita telah mengingkari esensi dari berpikir itu sendiri.
Menang atau Paham?
Mungkin sudah saatnya kita bertanya bukan “Siapa yang benar?” tapi “Apa yang benar?”
Bukan “Bagaimana membuat lawan tak berkutik?” tapi “Bagaimana mendekati kebenaran bersama-sama?”
Karena di zaman yang canggih ini, kemenangan sejati bukan soal membungkam suara lain, tapi mampu menyelaraskan banyak suara menjadi simfoni pemahaman yang lebih utuh.
"Terkadang kebanyakan orang tidak mendengarkan untuk memahami melainkan mereka mendengarkan untuk kebaikannya sendiri tanpa memandang benar dan salah dalam satu arti."
_Penulis_