“Kalian harus hati-hati! Jangan mudah terpengaruh isi khutbah yang
merusak, meskipun itu khutbah Jum’at atau acara keagamaan lainnya.”
Kiai As’ad Syamsul Arifin
Kalimat itu bukan
sekadar peringatan. Ia adalah suara hati yang tumbuh dari kejernihan mata batin
seorang ulama yang peka terhadap zaman. Di tengah gegap gempita orasi-orasi
religius yang semakin keras, Kiai As’ad
hadir sebagai penjaga suara bukan untuk membungkam, tapi untuk mengarahkan
agar umat tidak tersesat oleh suara-suara yang hanya mengatasnamakan kebenaran.
Khutbah:
Dari Menyejukkan Menjadi Bara yang Membakar
Dahulu, khutbah Jum’at
adalah yang menyejukkan. Mimbar menjadi tempat suci di mana hati-hati umat
dipeluk oleh hikmah. Tapi kini, tak sedikit khutbah yang berubah arah. Dari
nasihat menjadi tudingan, dari pengingat menjadi provokasi, dari pembangun
menjadi peruntuh ukhuwah. Dari mimbar yang sama, suara yang seharusnya
merangkul justru menebar kecurigaan. Seolah-olah kebenaran hanya milik satu
kelompok, dan sisanya adalah kesesatan.
Kiai
As’ad: Ulama yang Membaca Zaman
Beliau tidak hanya
menguasai teks, tetapi juga konteks. Dalam pemahaman Kiai As’ad, agama adalah ruang kasih, bukan
gelanggang pertikaian. Beliau sangat sadar akan apa yang disebut oleh psikolog
sosial sebagai efek otoritas bahwa
manusia cenderung tunduk pada mereka yang dianggap memiliki otoritas moral,
bahkan tanpa menyaring kebenaran isinya.
Maka, dawuh beliau
bukanlah larangan keras, tapi peringatan
lembut untuk tetap menggunakan hati dan akal sebelum menerima sebuah narasi,
betapapun religiusnya ia terdengar.
Retorika
Agama: Antara Hikmah dan Racun
Dalam psikologi
komunikasi, kita mengenal konsep “framing”
bagaimana kata-kata bisa mempengaruhi cara kita melihat sesuatu. Kiai As’ad
mengingatkan bahwa tidak semua yang terdengar
islami benar-benar membawa semangat Islam. Ada yang membungkus nafsu
berkuasa dengan ayat, ada yang menyisipkan kebencian dalam doa.
Kita diajak untuk menyaring, bukan menelan. Untuk
bertanya sebelum percaya. Karena kata-kata, meski tak berbentuk, punya kuasa
untuk membelah atau menyatukan, membangkitkan atau menjatuhkan.
Menyaring,
Bukan Menelan
Efek kognitif yang dijelaskan dalam psikologi
kontemporer menyatakan bahwa manusia cenderung hanya menerima informasi yang
sesuai dengan keyakinannya (bias konfirmasi). Di sinilah letak bahayanya ketika
khutbah berubah menjadi alat polarisasi. Ketika umat dicekoki narasi benci yang
dibungkus syiar, maka yang tumbuh bukan iman, tapi fanatisme.
Maka pentinglah dawuh
Kiai As’ad: jadilah pendengar yang
kritis. Bukan untuk mencela, tapi untuk menjaga diri dari kesesatan yang
tersembunyi. Agama tak butuh teriak, tapi butuh akhlak.
Menjadi
Penjaga Ukhuwah
Ketika sesama Muslim
mulai dicurigai karena beda tafsir, saat itulah kita sedang jauh dari ajaran
Rasulullah. Khutbah seharusnya menjadi sarana mempererat, bukan memecah. Islam yang dirindukan adalah Islam yang
mendamaikan, bukan yang menakut-nakuti. Islam yang mencintai, bukan
mencaci.
Dalam istilah psikologi moral, sikap ini disebut
sebagai moral maturity tingkat kesadaran
spiritual yang lahir dari cinta, bukan ketakutan; dari hikmah, bukan kebencian.
Suara
Itu Harus Dijaga
Kiai As’ad mengajarkan
bahwa iman bukan hanya percaya, tapi
juga menimbang. Menimbang apakah
pesan itu menumbuhkan atau justru menyesatkan. Apakah membawa rahmat atau
membawa laknat. Kita diajak untuk berpikir, bukan hanya mengiyakan.
Di dunia yang ramai
dengan klaim kebenaran, kita perlu menepi,
mendengar suara batin, dan bertanya:
"Apakah
suara ini mendekatkan pada Allah atau menjauhkan dari sesama?"
Penutup:
Menjaga Warisan Ulama
Suara Kiai As’ad bukan
hanya untuk masanya, tapi juga untuk zaman ini zaman di mana kita mudah
terpengaruh, mudah benci, mudah menghakimi. Beliau tidak hanya mewariskan ilmu,
tapi juga ketenangan berpikir, kebeningan hati, dan kearifan dalam menyikapi perbedaan.
Maka marilah kita
menjadi penjaga suara. Menjaga agar khutbah tetap sejuk, agar dakwah tetap
santun, agar Islam tetap menebar rahmat, bukan laknat.