Pelaksanaan Hari Pendidikan Nasional yang bertepatan dengan tanggal 02 Mei 2025 ini adalah bukan sekadar momentum seremonial tahunan, melainkan panggilan untuk merefleksikan kembali arah dan tujuan pendidikan nasional kita. Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), ditegaskan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk “mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Sayangnya, realitas pendidikan kita kadang terlalu fokus pada aspek kognitif atau transformasi knowledge semata. Sementara dua unsur penting lainnya, yakni spiritualitas dan integritas, kerap terpinggirkan dalam praktik keseharian di sekolah, pesantren, maupun perguruan tinggi. Padahal, ketiga unsur ini—Intelektualitas, Spiritualitas, dan Integritas (ISI)—merupakan fondasi utama lahirnya manusia utuh yang mampu membangun peradaban bangsa.
ISI sebagai Pilar Pendidikan Holistik
Intelektualitas tanpa spiritualitas
mudah terseret pada kesombongan dan penyalahgunaan ilmu. Integritas tanpa
intelektualitas berisiko menjadi semangat buta yang tidak terarah. Dan
spiritualitas tanpa dua unsur lainnya bisa saja menjelma menjadi sekadar ritualisme
kosong. Oleh karena itu, pendidikan nasional harus dirancang untuk menumbuhkan ISI
Bangsa: generasi cerdas (intelektual), sadar nilai-nilai ketuhanan (spiritual),
dan jujur-amanah dalam setiap langkah hidupnya (integritas).
Sebagaimana dikatakan oleh Ki Hadjar Dewantara, tokoh sentral pendidikan nasional, “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.” Ungkapan ini bukan sekadar metode mengajar, melainkan filosofi mendidik dengan keteladanan dan ketulusan, sekaligus simbol kekuatan ISI itu sendiri.
Figur Teladan Ber-ISI
Bangsa ini tak kekurangan teladan. KH.
Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, adalah contoh sempurna figur
pendidikan spiritual yang tetap menjunjung tinggi ilmu dan etika. Beliau
menekankan bahwa adab adalah fondasi ilmu, dan kejujuran adalah mahkota dari
integritas keilmuan.
Di era kontemporer, KHR. Ahmad Azaim
Ibrahimy, pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo,
merupakan sosok yang mencerminkan ketiga pilar ISI secara utuh. Beliau adalah
guru yang tetap menjadi murid: terus belajar, merendah, dan mengakar dalam
spiritualitas. Dalam setiap dawuh dan pengajaran, Kiai Azaim menekankan
pentingnya tiga kekuatan santri:
“Santri harus kuat dalam tiga hal: fikir, dzikir, dan
syukur. Fikir untuk kecerdasan, dzikir untuk kejernihan, dan syukur untuk
keteguhan.”
Ungkapan ini menggambarkan dengan
indah bagaimana intelektualitas (fikir), spiritualitas (dzikir), dan integritas
serta ketahanan batin (syukur) harus berjalan beriringan dalam pendidikan.
Beliau bukan hanya menyampaikan konsep ini secara lisan, tetapi
mempraktikkannya dalam gaya hidup sederhana, pelayanan kepada masyarakat, dan
ketekunan membina generasi muda dengan cinta.
Sementara itu, KH. Ahmad Mustofa Bisri
(Gus Mus) dan BJ Habibie juga dapat dijadikan panutan lintas sektor. Gus Mus
dalam peran budaya dan keulamaan, dan Habibie dalam dunia teknologi dan
kenegaraan—keduanya menegaskan bahwa ilmu sejati adalah yang merendahkan hati
dan menegakkan kejujuran.
Endingnya, Pendidikan
nasional tidak boleh berhenti pada produksi lulusan yang sekadar unggul di atas
kertas, tetapi harus mencetak manusia yang kuat fikir-nya, jernih dzikir-nya,
dan kokoh syukur-nya. Inilah manusia ber-ISI: berilmu tinggi, bertakwa
dalam-dalam, dan jujur seteguh karang.
Momentum Hari Pendidikan Nasional ini mengajak kita semua—pendidik, pemimpin, santri, dan mahasiswa—untuk meneguhkan kembali arah pendidikan kita sesuai dengan ruh Sisdiknas. Yakni, pendidikan sebagai jalan pembentukan manusia paripurna yang bukan hanya siap kerja, tetapi siap hidup secara utuh—Mulia Dunia Dan Mulia Akhirat. Karena sejatinya, pendidikan bukan hanya tentang transfer ilmu, tetapi transformasi jiwa. Dan manusia yang ber-ISI adalah modal utama membangun bangsa yang bermartabat di mata Dunia. (Qois)