Betapa malunya aku ketika menyadari bahwa di mata manusia aku tampak shaleh, namun di hadapan Allah, aku penuh dosa dan kelalaian.
Allah Mengetahui Segala Sesuatu
Allah berfirman:
يَعْلَمُ خَآئِنَةَ ٱلْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِى ٱلصُّدُورُ
“Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.” (QS. Ghafir: 19)
Dosa yang kita lakukan, baik terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi, semuanya tercatat. Bahkan, Allah mengetahui dosa-dosa yang kita lupakan. Tidak ada yang tersembunyi dari-Nya, meski manusia di sekitar kita tidak mengetahuinya.
Kita mungkin bisa menipu orang lain dengan tampilan religius, tutur kata yang santun, dan amal yang terlihat, tetapi bagaimana kita bisa menipu Allah? Bukankah Allah yang menciptakan kita dan mengetahui segala kelemahan kita?
Betapa banyak dosa yang telah kita lakukan, tetapi Allah dengan kasih sayang-Nya menutupi aib kita. Dia tidak mempermalukan kita di hadapan manusia. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Setiap umatku akan diampuni kecuali mereka yang terang-terangan (melakukan dosa). Termasuk terang-terangan adalah seseorang melakukan dosa pada malam hari, lalu paginya ia menceritakannya, padahal Allah telah menutupi dosanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini mengingatkan kita akan kelembutan Allah. Seandainya Allah membuka semua dosa kita kepada manusia, niscaya kita akan kehilangan harga diri dan kehormatan. Namun, dengan kasih sayang-Nya, Allah menutupi aib kita agar kita masih memiliki kesempatan untuk bertaubat.
Malu kepada Allah adalah tanda keimanan. Ketika seseorang merasa malu di hadapan Allah atas dosa dan kelalaiannya, itu menunjukkan bahwa ia masih memiliki hati yang hidup dan kesadaran spiritual.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Malu adalah bagian dari iman.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasa malu ini seharusnya menjadi motivasi untuk bertaubat dan memperbaiki diri. Bukan sekadar perasaan bersalah yang menggerogoti, tetapi sebuah dorongan untuk mendekat kepada Allah dan menjauhi perbuatan yang dilarang-Nya.
Betapa malunya aku ketika:
- Aku shalat di hadapan manusia, tetapi tidak khusyuk di hadapan Allah.
- Aku berbicara tentang kebaikan, tetapi lupa mempraktikkannya dalam kehidupan pribadi.
- Aku meminta ampunan kepada Allah, tetapi kembali melakukan dosa yang sama.
- Aku tampak beriman di hadapan manusia, tetapi jauh dari Allah dalam kesendirian.
Setiap kali mengingat hal ini, hati terasa berat, seolah tertutupi oleh lapisan dosa yang menumpuk. Namun, Allah yang Maha Penyayang tidak pernah meninggalkan hamba-Nya.
Meskipun penuh dosa, kita tidak boleh berputus asa dari rahmat Allah. Dia adalah Maha Pengampun yang selalu membuka pintu taubat bagi hamba-Nya. Allah berfirman:
۞ قُلْ يٰعِبَادِيَ الَّذِيْنَ اَسْرَفُوْا عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوْا مِنْ رَّحْمَةِ اللّٰهِۗ اِنَّ اللّٰهَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ جَمِيْعًاۗ اِنَّهٗ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
“Katakanlah, ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya.’” (QS. Az-Zumar: 53)
Kita mungkin malu di hadapan Allah, tetapi rasa malu ini harus menjadi langkah awal untuk memperbaiki diri. Malu karena dosa seharusnya mendorong kita untuk lebih giat beribadah, meninggalkan maksiat, dan memohon ampunan.
Betapa malunya aku di hadapan Allah, yang telah memberi begitu banyak nikmat, tetapi aku sering kali lalai. Betapa malunya aku, yang mengaku sebagai hamba-Nya, tetapi sering kali melupakan-Nya.
Namun, di tengah rasa malu ini, ada rasa syukur yang mendalam. Alhamdulillah, Ya Rabb, atas kasih sayang-Mu yang menutupi aibku, memberiku kesempatan untuk bertaubat, dan membimbingku kembali kepada jalan-Mu.
"Ya Allah, ampuni dosa-dosaku, perbaiki amal perbuatanku, dan jadikan aku lebih baik di hadapan-Mu daripada apa yang tampak di mata manusia. Aamiin."