Oleh: Ustadz Abdul Wasik, M.HI
(Pembina UKM SDG's IAI At-Taqwa Bondowoso)
Fikih SDGs dan Ketimpangan Sosial adalah konsep yang mencoba mengintegrasikan pendekatan fikih Islam dengan agenda pembangunan global Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya dalam mengatasi ketimpangan sosial.
Pengantar: Fikih SDGs
Fikih adalah cabang ilmu Islam yang membahas hukum-hukum syariat terkait kehidupan manusia. Sementara itu, Sustainable Development Goals (SDGs) adalah 17 tujuan global yang ditetapkan oleh PBB untuk mencapai pembangunan berkelanjutan, seperti penghapusan kemiskinan, kesetaraan gender, akses pendidikan, dan pengurangan ketimpangan.
Dalam konteks ini, Fikih SDGs berarti: pertama, Mengharmoniskan nilai-nilai Islam dengan tujuan SDGs, sehingga tindakan dan kebijakan pembangunan tidak hanya memenuhi target global tetapi juga sesuai dengan prinsip-prinsip syariat. Kedua, Menempatkan keadilan sosial sebagai inti pembangunan, sesuai dengan tujuan Islam untuk menghadirkan kemaslahatan (maqashid syariah).
Sebagaimana kita maklum bahwa teks dan konteks sangatlah berbeda. Teks sebagai hujjah yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits sudah jauh-jauh sebelumnya terkodifikasi dengan rapi dan sangat tidak dimungkinkan terjadi perubahan baik penambahan apalagi pengurangan. Hal ini sebagaimana tercatat dalam QS. Al-Maidah : 03. Sementara konteksnya senantiasa berubah seiring dengan perubahan zaman dan bahkan perubahan itu merupakan sunnatullah yang pasti terjadi. Oleh karena itu, dua hal ini antara teks dan konteks yang senantiasa memiliki 2 karakter berbeda, namun disisi yang lain, keduanya tidak bisa pisahkan walaupun mennggunakan perantara, yaitu menggunakan metodologi kaidah-kaidah dan ushul Fiqh yang bisa menjembatani teks dan konteksnya tersebut.
Al-Qur’an sebagai landasan hukum yang pertama dan utama menjadi pedoman hidup manusia (Way Of Life), dimana Rasulullah pernah menyampaikan bahwa : “Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya”. (Hadits Shahih Lighairihi, HR. Malik; al-Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm. Dishahihkan oleh Syaikh Salim al-Hilali di dalam At Ta’zhim wal Minnah fil Intisharis Sunnah, hlm. 12-13). Akan tetapi, Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya tidaklah semerta merta memberikan jawaban terhadap situasi dan kondisi yang melingkupinya kecuali ada peran ulama didalamnya, meminjam istilahnya Dr. Quraisy Shihab, “membumikan Al Qur’an”. Termasuk solusi Al-Qur’an dalam menjawab ketimpangan sosial.
Ketimpangan sosial adalah perbedaan akses terhadap sumber daya, pendidikan, kesehatan, atau kesejahteraan. Dalam Islam, ketimpangan yang ekstrem bertentangan dengan prinsip keadilan. Al-Qur'an dan Hadis mengajarkan tentang Keadilan sosial dan distribusi kekayaan (QS. Al-Hasyr: 7) agar kekayaan tidak hanya berputar di kalangan tertentu saja. Kewajiban zakat, infak, dan sedekah sebagai alat redistribusi kekayaan untuk mengurangi kesenjangan. Larangan eksploitasi dan ketidakadilan ekonomi, seperti riba dan monopoli.
Fikih bisa memberikan panduan operasional untuk mendukung pengurangan ketimpangan sosial dengan cara: Mendorong kebijakan ekonomi inklusif: Penguatan sistem zakat, wakaf, dan sedekah untuk pemberdayaan masyarakat miskin dan Mengembangkan konsep waqf produktif untuk menciptakan sumber daya berkelanjutan. Memperjuangkan hak-hak kelompok rentan: Fikih memberi perhatian khusus kepada kelompok miskin, yatim, dan dhuafa, SDGs yang menargetkan pengurangan ketimpangan (Tujuan 10) sejalan dengan nilai-nilai ini. Memastikan keadilan gender: Islam mendorong kesetaraan akses pendidikan dan ekonomi bagi laki-laki dan perempuan, yang sesuai dengan Tujuan SDGs (Tujuan 5).
Kolaborasi kaidah dan Fikih SDGs
Implementasi Fikih SDGs untuk mengatasi ketimpangan sosial memerlukan kolaborasi: Pemerintah: Merumuskan kebijakan berbasis fikih untuk mengentaskan kemiskinan dan mengurangi ketimpangan. Ulama dan Akademisi: Mengkontekstualisasikan fikih agar relevan dengan tantangan modern. Masyarakat: Membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya keadilan sosial melalui pendekatan religius dan nilai SDGs.
Melalui Fikih SDGs, Islam memberikan perspektif bahwa pengurangan ketimpangan sosial bukan hanya tanggung jawab duniawi, tetapi juga amanah spiritual untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia.
Kaidah fiqhiyah tentang ketimpangan sosial berfokus pada prinsip-prinsip keadilan dan redistribusi kekayaan dalam masyarakat, yang merupakan bagian integral dari ajaran Islam. Berikut adalah penjelasan mengenai kaidah fiqhiyah yang relevan dengan isu ketimpangan sosial:
Pertama, Prinsip Keadilan Sosial dalam Islam. Islam menekankan pentingnya keadilan sosial sebagai salah satu pilar utama dalam kehidupan masyarakat. Kaidah fiqhiyah yang sering dirujuk dalam konteks ini adalah "al-adl" (keadilan) dan "al-maslahah" (kepentingan umum). Keadilan sosial mengharuskan distribusi sumber daya yang adil, sehingga tidak ada kelompok tertentu yang mendominasi kekayaan atau kekuasaan.
Kedua, Zakat sebagai Instrumen Redistribusi. Zakat merupakan salah satu rukun Islam yang berfungsi untuk mengurangi ketimpangan sosial. Dalam konteks ini, zakat diartikan sebagai kewajiban bagi orang kaya untuk memberikan sebagian harta mereka kepada yang membutuhkan, sehingga membantu menciptakan keseimbangan ekonomi. Al-Qur'an menyatakan bahwa zakat tidak hanya membersihkan harta tetapi juga meningkatkan solidaritas sosial
Dampak Zakat terhadap Ketimpangan Sosial
Peningkatan Kesejahteraan: Zakat membantu meningkatkan taraf hidup golongan miskin dan mengurangi kesenjangan antara kaya dan miskin. Pemberdayaan Ekonomi: Dengan mendistribusikan kekayaan, zakat berfungsi sebagai alat untuk memberdayakan ekonomi masyarakat secara keseluruhan, memungkinkan kelompok kurang mampu untuk berpartisipasi lebih aktif dalam ekonomi.
Zakat memiliki dampak signifikan dalam mengurangi ketimpangan sosial jika dikelola secara efektif. Salah satunya adalah Pertama, Redistribusi Kekayaan. Zakat adalah instrumen keuangan yang secara langsung mendistribusikan sebagian kekayaan dari golongan kaya kepada golongan yang kurang mampu. Dengan adanya zakat, kesenjangan antara kelompok masyarakat yang kaya dan miskin dapat dikurangi. Contoh: Zakat mal dari pengusaha kaya disalurkan kepada fakir miskin untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Zakat produktif digunakan untuk memberikan modal usaha kepada masyarakat miskin agar mereka dapat meningkatkan pendapatan. Kedua, Pengurangan Kemiskinan. Dengan zakat, kelompok masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan mendapatkan bantuan untuk memenuhi kebutuhan pokok, seperti pangan, sandang, dan papan. Hal ini membantu mengurangi tingkat kemiskinan secara langsung. Dampak dari pendistribusian zakat akan meningkatkan kualitas hidup kelompok miskin, Peluang lebih besar untuk keluar dari siklus kemiskinan. Ketiga, Peningkatan Kesejahteraan Sosial. Zakat berfungsi tidak hanya sebagai bantuan konsumtif tetapi juga produktif. Misalnya, zakat digunakan untuk pendidikan, pelatihan kerja, dan pemberian modal usaha sehingga penerima zakat memiliki keterampilan dan daya saing di pasar kerja. Mobilitas sosial meningkat serta adanya Ketergantungan pada bantuan berkurang dalam jangka panjang.
Keempat, Pengurangan Ketimpangan Pelayanan Sosial. Dalam banyak kasus, kelompok miskin sering kali memiliki akses terbatas terhadap layanan kesehatan, pendidikan, dan fasilitas umum lainnya. Zakat dapat membantu menyediakan layanan ini, sehingga semua lapisan masyarakat memiliki peluang yang lebih setara. Kelima, Penguatan Solidaritas Sosial. Zakat menciptakan rasa kepedulian dan kebersamaan antaranggota masyarakat. Ketika orang kaya secara konsisten berbagi melalui zakat, hubungan sosial antara kelompok kaya dan miskin menjadi lebih harmonis, dan potensi konflik sosial akibat kecemburuan dapat diminimalkan.
Tantangan Implementasi
Untuk memaksimalkan dampak zakat terhadap ketimpangan sosial, terdapat beberapa tantangan yang perlu diatasi: pertama, Manajemen Zakat yang Efisien Lembaga pengelola zakat harus memiliki sistem yang transparan, akuntabel, dan tepat sasaran. Kedua, Edukasi Masyarakat. Masyarakat, khususnya yang berkecukupan, perlu lebih memahami kewajiban dan manfaat zakat. Pemantauan Dampak Perlu ada mekanisme pemantauan untuk memastikan bahwa zakat benar-benar memberikan dampak signifikan terhadap ketimpangan sosial. Dengan pengelolaan yang baik, zakat dapat menjadi salah satu instrumen yang kuat untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.
Kaidah Fiqhiyah Terkait Ketimpangan Sosial
Beberapa kaidah fiqhiyah yang relevan dengan isu ketimpangan sosial meliputi: pertama, "Ad-dararu yuzal": Segala bentuk kerugian harus dihilangkan, yang berarti bahwa sistem ekonomi harus dirancang untuk mengurangi kerugian bagi kelompok rentan. Kedua, "Al-maslahah al-mursalah": Kebaikan umum harus dipertimbangkan dalam setiap kebijakan atau tindakan, termasuk dalam pengelolaan sumber daya dan distribusi kekayaan.
Kesimpulan
Kaidah fiqhiyah tentang ketimpangan sosial menunjukkan bahwa Islam memiliki panduan yang jelas untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia. Melalui instrumen seperti pengelolaan zakat serta penerapan prinsip-prinsip keadilan sosial, diharapkan dapat mengurangi kesenjangan sosial dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara keseluruhan.