Oleh : Lutfi Hidayatul Amri
Merenungi Keindahan dan Cinta dalam Perspektif Maulana Jalaluddin Rumi
Maulana Jalaluddin Rumi, seorang sufi besar yang karya-karyanya terus hidup hingga kini, kerap mengajarkan manusia tentang makna cinta dan keindahan sejati. Dalam salah satu ajarannya, ia menyampaikan dua gagasan mendalam:
- “Siapa yang melihatnya, berarti ia sudah melihat-Ku.”
- “Semua yang dicintai itu cantik, tapi tidak semua yang cantik itu dicintai.”
Ungkapan ini menggugah hati dan pikiran, mengajak kita untuk memahami makna cinta dan keindahan yang lebih dalam, melampaui sekadar hal-hal yang bersifat duniawi.
Ketika Rumi berkata, “Siapa yang melihatnya, berarti ia sudah melihat-Ku,” ia mengingatkan kita bahwa seluruh keindahan di dunia ini hanyalah pantulan dari keindahan Allah. Segala yang indah, baik dalam ciptaan maupun perasaan cinta, sejatinya adalah cerminan sifat-sifat Allah yang Maha Indah (Al-Jamil).
Allah berfirman dalam Al-Qur'an:
فَاَيْنَمَا تُوَلُّوْا فَثَمَّ وَجْهُ اللّٰهِۗ
"Di mana saja kamu menghadap, di sanalah wajah Allah.” (QS. Al-Baqarah: 115)
Artinya, segala sesuatu yang indah dan baik di dunia ini adalah tanda-tanda keberadaan Allah. Ketika kita melihat keindahan alam, kebaikan manusia, atau cinta yang tulus, sejatinya kita sedang melihat bukti dari kasih sayang dan kebesaran Allah.
Rumi berkata, “Semua yang dicintai itu cantik, tapi tidak semua yang cantik itu dicintai.” Pernyataan ini menggambarkan sifat cinta yang unik. Keindahan dalam pandangan cinta tidak selalu terletak pada fisik atau bentuk, tetapi pada makna dan nilai yang dihasilkan dari hubungan emosional dan spiritual.
- Dicintai Karena Hati: Seseorang yang mencintai akan melihat keindahan yang tak kasat mata, seperti kejujuran, ketulusan, dan kebaikan hati. Cinta inilah yang membuat sesuatu tampak indah meskipun secara kasat mata mungkin tidak sempurna.
- Kecantikan Tanpa Cinta: Sebaliknya, sesuatu yang secara fisik indah, namun tidak memiliki makna yang mendalam, sering kali terasa hampa jika tidak ada cinta yang melandasinya.
Cinta membuat manusia mampu melampaui batasan duniawi dan melihat keindahan yang bersifat ilahi.
Rumi sering menggambarkan cinta sebagai jembatan menuju Allah. Dalam pandangan sufistik, cinta kepada makhluk hanyalah sarana untuk mencapai cinta kepada Sang Pencipta. Ketika seseorang mencintai makhluk dengan tulus, ia sebenarnya sedang belajar mencintai Allah yang menciptakan makhluk tersebut.
Rumi menulis:
"Cinta adalah jembatan antara dirimu dan segala sesuatu."
Keindahan yang kita temukan dalam cinta kepada sesama sejatinya adalah cerminan dari keindahan cinta Allah kepada hamba-Nya.
Rumi juga mengajarkan bahwa cinta sejati tidak terikat pada hal-hal duniawi. Ia mengajak manusia untuk melampaui cinta yang bersifat fana dan menuju cinta yang abadi. Dunia hanyalah sarana, sementara tujuan akhir adalah Allah.
Allah berfirman:
"Kecintaan kepada Allah, Rasul-Nya, dan jihad di jalan-Nya lebih utama daripada kecintaan kepada apa pun di dunia ini." (QS. At-Taubah: 24)
Ketika seseorang mencintai Allah, ia akan melihat keindahan-Nya dalam segala hal, dan ia akan merasakan kedamaian yang abadi.
Ungkapan Rumi, “Siapa yang melihatnya, berarti ia sudah melihat-Ku,” dan “Semua yang dicintai itu cantik, tapi tidak semua yang cantik itu dicintai,” adalah ajakan untuk melihat keindahan dan cinta dengan mata hati.
Keindahan sejati bukanlah sekadar apa yang tampak di mata, melainkan apa yang dirasakan oleh hati yang tulus. Cinta sejati bukanlah cinta yang terikat oleh dunia, melainkan cinta yang membawa kita lebih dekat kepada Allah.
Mari kita belajar mencintai dengan tulus, melihat keindahan dalam setiap ciptaan, dan memahami bahwa semua cinta dan keindahan adalah tanda dari keberadaan-Nya. Sebab, melalui cinta dan keindahan, kita dapat lebih mengenal dan mendekat kepada Allah.